Sabtu, 07 Februari 2015

Rumah di Ujung Gang

Aku berjalan sambil mengenggam payung biruku. Sesekali kakiku melompat-lompat menghindari genangan air. Cuaca hari ini tidak terlalu bagus. Dari pagi, langit terus dihiasi awan mendung membuat sekelilingku terlihat gelap. Sehingga lampu jalan dinyalakan lebih awal walaupun hari masih sore. Aku mendecak sebal karena di cuaca buruk ini, ibu tidak menjemputku karena alasan pekerjaan.

Aku memasuki kawasan perumahan. Entah kenapa, jalan yang biasanya ramai ini tidak ada orang sama sekali. Aku dikejutkan dengan suara guntur. Aah, aku harus bergegas. Mungkin suara guntur ini menandakan hujan akan semakin deras. Aku pun berjalan lebih cepat. Baru saja aku berjalan beberapa langkah telingaku menangkap suara langkah kaki selain diriku. Aku segera berhenti dan melihat ke belakang karena kukira ada seseorang di sana. Namun, jalanan itu masih sepi dan hanya aku yang berada di sana. 

Aku kembali berjalan mengabaikan suara itu. Mungkin itu hanya perasaanku. Kali ini aku berjalan lebih lambat untuk memastikan apakah itu suara langkah kakiku sendiri. Namun, yang kudengar dari langkahku adalah suara sepatu karet yang mendecit. Sedangkan suara langkah kaki misterius itu terdengar seperti kaki telanjang. Rasa takut mulai menyerangku. Aku berjalan lebih cepat lagi sambil sesekali menoleh ke belakang. Beberapa kali aku menoleh, tetap tidak ada orang. Anehnya, suara langkah kaki tersebut tetap terdengar dan semakin jelas. Lama kelamaan aku pun berlari. Aku tidak sadar berlari kemana. Aku hanya ingin menghindari suara itu saja. 

Begitu kusadari aku berlari ke sebuah gang yang tidak pernah kulalui sebelumnya. Tidak ada rumah satupun dan hanya ada rumput-rumput liar. Aah, kenapa di pertigaan tadi aku tidak berlari lurus saja, ya? Padahal di sana ada toko langgananku. Namun, tanpa ada keinginan untuk berbalik aku terus berlari ke depan. Aku melihat sebuah rumah di ujung gang. Firasatku mengatakan aku tidak boleh mendekati rumah itu. Namun, kakiku terus saja berlari. Semakin mendekati rumah itu, semakin pelan langkah kakiku. Begitu kusadari, suara di belakangku telah menghilang. Saat itu juga, kakiku berhenti di depan gerbang rumah itu. 

Dengan nafas tersengal-sengal aku membuka pintu gerbang rumah itu. Aku tahu, aku seharusnya tidak memasuki rumah itu. Tapi ada perasaan yang mendorongku untuk berjalan lebih ke dalam lagi. Akhirnya aku berada tepat di depan pintu rumah itu. Aku membukanya perlahan. Hal pertama yang kusadari adalah bau busuk yang menyengat hidungku. Seberkas cahaya lampu jalan masuk ke dalam rumah sehingga aku bisa melihat bercak-bercak darah di lantai. Aku melihat sepasang kaki yang penuh sayatan tepat di depan mataku. Aku mendongak dan melihat tubuh yang tergantung. Walaupun takut, kepalaku terus mendongak. Akhirnya mata kami pun bertemu. Tatapan itu begitu dingin dan menusuk. Saat itu aku tersadar, dialah yang memanggilku.

(Cerpen karya Wintang 9B, Becky 9A)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar